Aku berada
di antara ratusan rak buku yang seakan-akan memandangiku dan bertanya-tanya.
Jantungku berdebar-debar menunggu kamu, mungkin pertanyaan itu yang disimpan
para rak buku dan bangku serta meja yang menungguku memberi jawaban. Pesanmu
yang kubaca kembali membuat senyumku mengembang, kamu sudah di lantai dua, dan
janji kita untuk bertemu sebentar lagi akan tergenapi. Aku menatap wajahmu,
kamu menatap wajahku.
Siang itu,
udara Depok sangat terik. Sambil melihat isi lini waktu Twitter, aku berharap
kebosanan saat menunggumu bisa segera mereda. Tiba-tiba, suara berat itu
menyapaku, kamu menjabat tanganku, tersenyum malu-malu, dan memperbaiki kaca
matamu. Aku terkejut, setelah berminggu-minggu kita menjalani hubungan yang
entah-harus-disebut-apa, akhirnya kita bisa bertatap mata. Seperti yang
kukatakan sejak awal, rasa terkejutku dibarengi dengan suasana kedap suara yang
hanya bisa ditemukan dalam novel-novel cinta. Dan, kalau kamu mau tahu, kalau
kamu mau memaklumi sikapku, aku merasakan apa yang terjadi dalam novel-novel
itu; semua kedap suara.
Hanya suaramu yang terdengar, hanya suaramu yang
mengalun pelan, aku tak tahu ini apa, terlalu terburu-burukah jika kusebut
cinta?
Perpustakaan
Pusat UI kala itu seperti memahami kita, aku dan kamu duduk berdua,
bersebelahan, berbagai cerita, dan kita bertatapan mata. Aku mulai ragu,
setiap memadang matamu dan menelusup ke balik kaca matamu. Ada perasaan rindu
yang tersembunyi di sana, kecemasan yang tidak kupahami ketika kamu sebut nama
kekasihmu.
Aku menghela
napas, rasa sakit itu menyeruak dan menganga lebih besar lagi. Amarahku
tiba-tiba membuncah, amarah yang kutahan, kupendam, selama berbulan-bulan. Kamu
bercerita tentang kekasihmu dan kamu masih sempat memanggilku dengan panggilan
'sayang'. Aku menelan ludah, menghela napas pasrah, berharap ini semua hanya
permainan yang akan segera berakhir, dan yang kumau aku bisa keluar menjadi
pemenang. Tapi, setiap mengingat itu, aku takut justru akulah yang kalah, dan
aku hanya bisa melihatmu dan kekasihmu bahagia, kemudian menerima kenyataan
bahwa aku tak pernah ada di mata dan hatimu.
Aku hanya tersenyum
saat mendengar ceritamu, senyum yang semakin lebar saat berkali-kali kau
menyebut nama dia, namun jemarimu menggenggam tanganku, rasa sakit yang semakin
dalam saat kulihat wajah wanita itu berada dalam wallpaper ponselmu
setiap kali kamu menyentuh layar benda kecil itu. Setiap kali kaucerita tentang
dia, aku berusaha tertawa geli, begitupun saat malam hari kamu kembali menarik
wanita itu dalam setiap percakapan kita di telepon. Aku merasa posisiku sangat
kecil. Aku merasa kamu semakin jauh. Aku merasa aku mulai mencintaimu, ketika
kutahu aku mulai cemburu dan takut kehilangan kamu.
Aku tak tahu
bagaimana perasaanmu padaku, apakah kamu menganggapku penting atau hanya
menganggapku halte tempat kamu singgah sebentar kemudian pergi lagi bersama
kekasihmu. Aku tak tahu apakah kata sayang yang kamu ucapkan, kamu bisikkan
ketika kamu memegang tanganku adalah isyarat yang sungguh terjadi, ataukah
semua yang kita jalani selama ini hanya bualan semu dan aku tertipu terlalu
jauh?
Siang itu,
saat kamu pamit meninggalkanku dan kembali ke kampusmu, aku hanya memberi
sedikit senyuman dan menepuk bahumu. Aku berdoa dalam hati agar kita bisa
bertemu lagi. Namun, ketika kutelusuri lagi matamu, kuselami lagi dunia dalam
jelaga matamu, rasanya aku tak ingin semua ini berakhir. Rasanya aku tak ingin
kamu pergi. Rasanya aku ingin memilikimu seutuhnya walaupun pada akhirnya kamu
akan kembali pada kekasihmu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar