Sabtu, 19 April 2014

Kenali Ciri-Ciri Toxic Friend




Psikolog Vierra Adella , atau akrab disapa Della menyebutkan, ada perbedaan besar antara teman yang meminta bantuan dan teman yang terus menerus meminta bantuan. Seseorang yang terus meminta bantuan atau perhatian tentunya akan menguras energi teman-temannya. Berikut ciri-cirinya:
1. Egoistis. Hanya ingin didengarkan dan ingin terus mendapat perhatian.
2. Suka bergosip tentang segala hal dan jarang terbukti kebenarannya.
3. Sering berbohong tanpa peduli bahwa orang tak suka dibohongi.
4. Setiap kali bertemu dengan dia, tiba-tiba saja mood Anda berantakan.
5. Usai bertemu dia, Anda merasa stres dan lelah secara emosi karena mendengarkan semua cerita dan perilakunya.
6. Sering membuat Anda merasa buruk atau minder, ketimbang membuat Anda merasa positif dengan diri dan masalah Anda.
7. Bermuka dua. Anda sering mendapati dia nongkrong bersama orang yang sering ia keluhkan atau jelek-jelekkan di hadapan Anda.
8. Pertemanan Anda menjadi terlalu eksklusif. Anda jadi tidak bisa melepaskan diri satu sama lain dan susah menerima kehadiran teman baru. Anda sadar bahwa Anda sering dimanfaatkan oleh seorang teman, tapi Anda susah melepaskan diri dari pertemanan tersebut.

Setiap orang memang berpotensi menjadi toxic friend. Tetapi ada beberapa kondisi yang membuat seseorang rawan menjadi racun bagi lingkungan sosialnya.
Seperti:
1. Teman yang baru menikah atau baru bercerai. Tak semua orang bisa dengan mulus melewati perubahan status tersebut. Tak heran bila mereka banyak berkeluh kesah.
2. Teman yang tidak percaya diri cenderung menularkan rasa low self esteem-nya pada lingkungan terdekatnya.
3. Hamil, menjelang haid, dan menopause. Bila tidak ditangani dengan tepat, gejolak hormon dalam tubuh dapat menjadi biang keladi emosi yang tak terkendali.




Sumber :


Pentingnya Softskill Dalam Dunia Kerja



Mengapa ?

Dunia kerja percaya bahwa sumber daya manusia yang unggul adalah mereka yang tidak hanya memiliki kemahiran hard skill saja tetapi juga piawai dalam aspek soft skillnya. Dunia pendidikanpun mengungkapkan bahwa berdasarkan penelitian di Harvard University Amerika Serikat ternyata kesuksesan seseorang tidak ditentukan semata-mata oleh pengetahuan dan kemampuan teknis (hard skill) saja, tetapi lebih oleh kemampuan mengelola diri dan orang lain (soft skill). Penelitian ini mengungkapkan, kesuksesan hanya ditentukan sekitar 20% oleh hard skill dan sisanya 80% oleh soft skill.

Adalah suatu realita bahwa pendidikan di Indonesia lebih memberikan porsi yang lebih besar untuk muatan hard skill, bahkan bisa dikatakan lebih berorientasi pada pembelajaran hard skill saja. Lalu seberapa besar semestinya muatan soft skill dalam kurikulum pendidikan?, kalau mengingat bahwa sebenarnya penentu kesuksesan seseorang itu lebih disebabkan oleh unsur soft skillnya.

Jika berkaca pada realita di atas, pendidikan soft skill tentu menjadi kebutuhan urgen dalam dunia pendidikan. Namun untuk mengubah kurikulum juga bukan hal yang mudah. Pendidik seharusnya memberikan muatan-muatan pendidikan soft skill pada proses pembelajarannya. Sayangnya, tidak semua pendidik mampu memahami dan menerapkannya. Lalu siapa yang harus melakukannya? Pentingnya penerapan pendidikan soft skill idealnya bukan saja hanya untuk anak didik saja, tetapi juga bagi pendidik.


Apa ?


Konsep tentang soft skill sebenarnya merupakan pengembangan dari konsep yang selama ini dikenal dengan istilah kecerdasan emosional (emotional intelligence). Soft skill sendiri diartikan sebagai kemampuan diluar kemampuan teknis dan akademis, yang lebih mengutamakan kemampuan intra dan interpersonal.

Secara garis besar soft skill bisa digolongkan ke dalam dua kategori : intrapersonal dan interpersonal skill.
Intrapersonal skill mencakup : self awareness (self confident, self assessment, trait & preference, emotional awareness) dan self skill ( improvement, self control, trust, worthiness, time/source management, proactivity, conscience).

Sedangkan interpersonal skill mencakup social awareness (political awareness, developing others, leveraging diversity, service orientation, empathy dan social skill (leadership,influence, communication, conflict management, cooperation, team work, synergy)

Pada proses rekrutasi karyawan, kompetensi teknis dan akademis (hard skill) lebih mudah diseleksi. Kompetensi ini dapat langsung dilihat pada daftar riwayat hidup, pengalaman kerja, indeks prestasi dan ketrampilan yang dikuasai. Sedangkan untuk soft skill biasanya dievaluasi oleh psikolog melalui psikotes dan wawancara mendalam. Interpretasi hasil psikotes, meskipun tidak dijamin 100% benar namun sangat membantu perusahaan dalam menempatkan ‘the right person in the right place’.

Hampir semua perusahaan dewasa ini mensyaratkan adanya kombinasi yang sesuai antara hard skill dan soft skill, apapun posisi karyawannya. Di kalangan para praktisi SDM, pendekatan ala hard skill saja kini sudah ditinggalkan. Percuma jika hard skill oke, tetapi soft skillnya buruk. Hal ini bisa dilihat pada iklan-iklan lowongan kerja berbagai perusahaan yang juga mensyaratkan kemampuan soft skill, seperi team work, kemampuan komunikasi, dan interpersonal relationship, dalam job requirementnya. Saat rekrutasi karyawan, perusahaan cenderung memilih calon yang memiliki kepribadian lebih baik meskipun hard skillnya lebih rendah. Alasannya sederhana : memberikan pelatihan ketrampilan jauh lebih mudah daripada pembentukan karakter. Bahkan kemudian muncul tren dalam strategi rekrutasi „ Recruit for Attitude, Train for Skill“.

Hal tersebut menunjukkan bahwa : hard skill merupakan faktor penting dalam bekerja, namun keberhasilan seseorang dalam bekerja biasanya lebih ditentukan oleh soft skillnya yang baik.
Psikolog kawakan, David McClelland bahkan berani berkata bahwa faktor utama keberhasilan para eksekutif muda dunia adalah kepercayaan diri, daya adaptasi, kepemimpinan dan kemampuan mempengaruhi orang lain. Yang tak lain dan tak bukan merupakan soft skill.

Bagaimana ?

Para ahli manajemen percaya bahwa bila ada dua orang dengan bekal hard skill yang sama, maka yang akan menang dan sukses di masa depan adalah dia yang memiliki soft skill lebih baik. Mereka adalah benar-benar sumber daya manusia unggul, yang tidak hanya semata memiliki hard skill baik tetapi juga didukung oleh soft skill yang tangguh.

Pada posisi bawah, seorang karyawan tidak banyak menghadapai masalah yang berkaitan dengan soft skill. Masalah soft skill biasanya menjadi lebih kompleks ketika seseorang berada di posisi manajerial atau ketika dia harus berinteraksi dengan banyak orang. Semakin tinggi posisi manajerial seseorang di dalam piramida organisasi, maka soft skill menjadi semakin penting baginya. Pada posisi ini dia akan dituntut untuk berinteraksi dan mengelola berbagai orang dengan berbagai karakter kepribadian. Saat itulah kecerdasan emosionalnya diuji.

Umumnya kelemahan dibidang soft skill berupa karakter yang melekat pada diri seseorang. Butuh usaha keras untuk mengubahnya. Namun demikian soft skill bukan sesuatu yang stagnan. Kemampuan ini bisa diasah dan ditingkatkan seiring dengan pengalaman kerja. Ada banyak cara meningkatkan soft skill. Salah satunya melalui learning by doing. Selain itu soft skill juga bisa diasah dan ditingkatkan dengan cara mengikuti pelatihan-pelatihan maupun seminar-seminar manajemen. Meskipun, satu cara ampuh untuk meningkatkan soft skill adalah dengan berinteraksi dan melakukan aktivitas dengan orang lain. 





Berikut ini adalah contoh Softskill :

1. kemampuan berkomunikasi 
Komunikasi secara umum didefinisikan sebagai "menanamkan atau pertukaran pikiran, pendapat, atau informasi melalui pidato, menulis, atau tanda-tanda". Meskipun ada yang namanya komunikasi satu arah, komunikasi dapat dirasakan lebih baik sebagai proses dua arah yang di dalamnya ada pertukaran dan perkembangan pikiran.
Komunikasi adalah dasar yang paling kuat dalam interaksi di setiap lingkungan seperti sekolah, kampus dan sebagainya.

2.manajemen konflik

sebagai mahasiswa akan sangat diperlukan kemampuan dalam menangani masalah yang sering muncul dalam setiapa aspek kehidupan.


3.kemampuan bekerja sama dengan team
ternyata kemampuan ini sangat besar andilnya dalam lingkungan kerja. Banyak diantara mahasiswa yang cenderung berpikir bisa bekerja sendiri tanpa melibatkan oranglain padahal pemahaman ini sangat salah. Di lingkungan kampus kemampuan ini diasah melalui kerja kelompok.


4.pengambilan keputusan
dalam kondisi yang mendesak kemampuan ini sangat diperlukan. Untuk kondisi tertentu kemampuan ini harus dibuat walaupun terkadang mengesampingkan prosedur atau aturan yang baku yang telah disepakati bersama.
Contohnya dalam bidang kedokteran menyelamatkan ibu atau bayinya.

5. Negoisasi

Negosiasi adalah suatu dialog dimaksudkan untuk menyelesaikan perselisihan, untuk menghasilkan kesepakatan atas tindakan, untuk tawar-menawar untuk keuntungan individual atau kolektif, atau hasil kerajinan untuk memuaskan berbagai kepentingan. Ini adalah metode utama alternatif penyelesaian sengketa.
Dengan tulisan ini setidaknya telah menambah pengetahuan saya tentang pentingnya soft sklill dan berharap hal ini dibaca oleh mahsiswa yang sedang menempuh pendidikannya.


Sumber :