"Bagaimana aku bisa mencari orang sepertimu?"
Hujan
 selalu menyimpan tanda tanya. Kadang, hujan bisa juga menjadi jawaban. 
Dia membisu, datang malu-malu, tanpa isyarat dan kata, tiba-tiba dia 
mengguyur saja sesukanya, seenak hatinya. Seringkali hujan 
disalahartikan sebagai pembawa duka, sebagai sebab seseorang mengingat 
kenangannya, sebagai terdakwa yang menyebabkan seseorang takut akan 
takdirnya. Hujan buatku adalah penenang dalam kerinduan, pembawa air mata, dan pengingat rasa kehilangan. Selalu saja, sesuatu yang harus seseorang lupakan adalah sesuatu yang justru jauh tersimpan begitu dalam, kenangan. 
Seorang
 pria, sederhana saja. Senyumnya menyimpan banyak tanda tanya, 
tatapannya mengganggu laju kerja otak, dan gerak-geriknya memaksaku agar
 tidak melewati setiap inci perpindahannya. 
Lalu,
 semua terjadi begitu saja. Saat sapa lembutnya menjaring nyata 
menyentuh gendang telinga, saat percakapan kecil yang tercipta berubah 
menjadi deretan narasi nyata, aku dan dia, mengalir, begitu saja, 
seperti curah lembut hujan yang jatuh ke permukaan. Sederhana sekali, cinta memang selalu menuntut kesederhanaan. 
Dia
 mengajariku banyak hal. Cara menari dalam hujan, cara tertawa dalam 
kesedihan, cara menghargai perbedaan, dan cara bermimpi walau dalam 
kemustahilan.
Seringkali aku menatapnya 
dalam-dalam, menyelami sejuk matanya, tercebur dalam hatinya, lalu 
terpeleset dalam aliran darahnya. Aku sangat ingin menjadi bagian dalam 
setiap detak jantungnya, aku ingin ikut berhembus saat helaan nafasnya. 
Tapi, apa semua ingin dan harapku akan menyentuh kenyataan? Inilah yang disebut mimpi, selalu terlalu tinggi. 
Tahu-tahu, sosoknya menjadi sangat penting dalam setiap bangun pagi hingga tidur malamku. Sedetik, semenit, sejam, seharian, hanya
 dia saja yang begitu rajin menghampiri otakku. Aku ragu kalau dia tak 
punya kerjaan lain selain mengganggu pikiran dan imajinasiku.
Ah, kala itu, cinta
 tak lagi menjelma menjadi sesuatu yang sederhana, berangsur-angsur 
tingkatannya berbeda, hingga ia menjelma menjadi dua kata, luar biasa. 
Perasaan itu tak lagi sekadar teman biasa, tapi dia berevolusi menjadi 
lebih dari teman biasa. 
Aha!
 Hujan ternyata masih jadi peran antagonis, dia kembali mengingatkanku 
padamu! Kamu yang dua tahun ini meninggalkanku tanpa pamit, tanpa ucapan
 selamat tinggal, tanpa isyarat dan pengungkapan.
Ah...
 berdosakah aku kalau masih saja memikirkanku? Dua tahun lalu, hanya kau
 saja yang mengajariku menghargai rintik hujan, menghargai deras 
rindunya, menghargai butir-butir kenangan halusnya. 
Hujan
 kali ini, di sepotong sore yang dingin, benar-benar mengingatkanku pada
 rasa kehilangan, tentu saja rasa yang begitu dalam. Hilang? Saat 
aku berniat untuk mencari, pasti aku akan menemukan. Tapi, bagaimana aku
 bisa mencari orang sepertimu? Di mana aku bisa menemukan seseorang yang
 mau berjanji untuk tidak meninggalkanku? 
Sayang. Ah! Sayang? Panggilan yang tak pernah terucap sekalipun dari bibirmu.
 Hujan kali ini memang deras sekali, aku tak membayangkan kamu yang 
terbaring lemah disana, apa kau kedinginan? Oh ya, sudah sebulan aku 
tidak mengunjungimu ya? Apa kamu merindukanku sedalam aku merindukanmu? 
Tidak usah dijawab! Aku tidak ingin mendengar jawaban dingin itu! Begini
 saja, besok aku akan mengunjungimu, membersihkan rumput-rumput liar 
yang mencoba menjamah nisanmu. Jangan menolak! Aku punya alasan 
sederhana untuk menjelaskan pemaksaanku. Aku hanya rindu. Itu saja. Sederhana. Rindu memang selalu sederhana kan?
Sumber : 
 
 
Tidak ada komentar:
Posting Komentar