1.
”The Bolter” karya Frances Osborne
Buku ini mengisahkan kronik kehidupan Idina Sackville, seorang perempuan Inggris yang menentang adat kebiasaan dengan memiliki begitu banyak kekasih dan memilih kehidupan asing di Kenya pada 1928. Pembaca dihadapkan dengan pertanyaan, apakah Sackville seorang protofeminist layaknya Isak Dinesen yang menjunjung tinggi kebebasan atau sekadar gadis kaya yang manja dan mencintai skandal? Melalui buku ini, Frances Osborne yang tak lain merupakan cicit Sackville berusaha melacak jejak petualangan nenek moyangnya yang gegabah dan sedikit ”gila.”
Buku ini mengisahkan kronik kehidupan Idina Sackville, seorang perempuan Inggris yang menentang adat kebiasaan dengan memiliki begitu banyak kekasih dan memilih kehidupan asing di Kenya pada 1928. Pembaca dihadapkan dengan pertanyaan, apakah Sackville seorang protofeminist layaknya Isak Dinesen yang menjunjung tinggi kebebasan atau sekadar gadis kaya yang manja dan mencintai skandal? Melalui buku ini, Frances Osborne yang tak lain merupakan cicit Sackville berusaha melacak jejak petualangan nenek moyangnya yang gegabah dan sedikit ”gila.”
”Dreaming in Hindi”
mengisahkan kesialan beruntun yang dialami penulisnya, Katherine Russel Rich.
Setelah dua tahun berjuang melawan kanker dan dipecat dari pekerjaan, Rich
kehilangan kata-kata untuk menggambarkan betapa buruk nasib yang dialaminya.
Buku ini merupakan kisah menawan dan emosional tentang perjalanan Rich ke
India, tempat ia mencoba menguasai bahasa asing yang rumit sampai akhirnya
menguasai bahasa kemungkinan.
Sebuah memori
mengerikan menyatukan dua perempuan yang sama sekali berbeda. Perempuan pertama
adalah seorang pengungsi muda asal Nigeria yang bertabiat masam namun cerdik
dan g baru saja keluar dari pusat penahanan Inggris. Sementara perempuan yang
satu lagi adalah editor majalah mode perempuan Inggris. ”Little Bee”
mengisahkan tentang kengerian dan keindahan secara sekaligus.
Licik namun berhati
tulus. ”Blame” mengisahkan tentang Patsy Maclemoore, seorang profesor sejarah
berusia 20-an tahun yang sedikit liar dan terlibat dalam tindak kriminal yang
berhubungan dengan alkohol. Patsy berhasil menemukan penebusan, namun berakhir
dengan mempertanyakan moralnya sendiri di kemudian hari
Kehidupan Christopher
Buckly tidak seperti kehidupan yang dimiliki banyak orang. Orangtuanya adalah
William F. dan Patricia Buckley, figur intelektual dan sosial di East Coast.
”Losing Mum and Pup” merupakan memoar Buckly tentang tahun-tahun setelah
kematian kedua orangtuanya dan rasa kehilangan yang mendera. ”Orang-orang
terkasih kadang-kadang melakukan hal-hal yang tidak menyenangkan,” katanya.
Namun dirinya tetap mengasihi mereka.
Novel karya Dave
Eggers ini mengisahkan seorang kontraktor Suriah yang seharusnya dihargai atas
kerja tanpa pamrihnya di New Orleans selama dan setelah bencana badai Katrina,
namun malah dikurung di dalam penjara darurat layaknya hewan. Buku ini
merupakan sebuah karya masterpiece dengan gaya pelaporan memilukan tentang
salah satu momen memalukan dalam sejarah Amerika.
Hanya Uwen Akpan,
seorang penulis Nigeria sekaligus imam Yesuit, yang mampu membimbing pembaca
melewati medan keputusasaan, dari jalanan kumuh di Nairobi hingga kecamuk
perang di Rwanda, dengan segenggam harapan di kepalan tangan. Kisah tentang
pemerkosaan, pembunuhan, dan perbudakan anak-anak di dalam novel ini tidak
tertanggungkan. Dikisahkan sebagian besar oleh anak-anak itu sendiri, ”Say
You’re One of Them” membuat kita tersentuh dan tergerak melantunkan doa untuk
dunia yang lebih baik.
8. ”Some Things That
Meant the World to Me” karya Joshua Mohr
Temui Rhonda, seorang lelaki yang tenggelam dalam jeratan alkohol sebagai sebuah penebusan. Baris pertama novel dibuka dengan kalimat yang memicu intrik, ”Aku ingin bercerita tentang suatu malam ketika aku menyelamatkan hidup seorang pelacur.”
Novel ini mengisahkan
tiga generasi perempuan berkuasa yang bernafsu melawan politik abad ke-20 di
Amerika Selatan. Layaknya novel-novel terbaik lainnya, ”The Invisible Mountain”
menceritakan kisah menarik tentang identitas, tempat, dan waktu.
Novel ini diangkat
dari kisah nyata yang memikat tentang seorang lelaki bernama Cleo, yang setelah
menyaksikan kehancuran tanah kelahirannya Burundi, terpaksa menghadapi
kemiskinan dan penghinaan di Amerika. Namun semua itu tidak mampu
menghancurkannya, justru membuatnya bangkit dan bertahan. Kidder menggambarkan
secara jelas, pengalaman mendaki gunung selama 14 jam membuat seseorang
menyadari bahwa melanjutkan hidup menunjukkan kekuatan, dan beberapa hal lebih
penting daripada kesedihan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar